Hakikat Belajar Sains Siswa Sekolah Dasar
Belajar
menurut Djamarah (2008) merupakan suatu proses usaha yang dilakukan seseorang
untuk memperoleh suatu perubahan, motivasi, pengetahuan, keterampilan,
kebiasaan, dan tingkah laku. Belajar adalah perubahan dalam kepribadian yang
dimanifestasikan sebagai suatu pola respon yang berupa keterampilan
(psikomotor), sikap (afektif) dan pengetahuan (kognitif).
Sekolah
Dasar (SD) merupakan jenjang pendidikan dasar dimana internalisasi nilai,
karakter dan sikap merupakan hal yang terpenting ditanamkan dalam diri siswa.
Belajar sains merupakan kegiatan mempelajari diri dan alam sekitar yang ada
dalam kehidupan sehari-hari dengan memfokuskan kegiatan pada penemuan dan
pengolahan informasi melalui kegiatan mengamati, mengukur, mengajukan
pertanyaan, mengklasifikasi, dan memecahkan masalah. Siswa Sekolah Dasar
menurut Jean Piaget dalam teori perkembangan kognitif berada pada fase
operasional konkrit (7-11 tahun) untuk kelas 1-5 dan awal menuju fase operasional
formal (11 tahun keatas) untuk kelas 6 (Budiningsih, 2005).
Pada
fase operasi konkrit anak mulai berpikir secara logis tentang kejadian-kejadian
konkrit. Pada tahap ini anak mulai memahami operasi (logis) dengan bantuan
benda-benda konkrit. Proses pemikiran anak mengarah pada kejadian nyata yang
dapat diamati, sehingga diperlukan model-model pembelajaran yang melibatkan
siswa dalam proses pengamatan objek-objek konkret yang mudah dipahami siswa.
Hakikat
belajar sains siswa SD diwujudkan dengan proses pembelajaran yang
menitikberatkan pada kegiatan mengamati dan mendeskripsikan apa yang diamati,
memahami konsep melalui contoh nyata (kontekstual) dan fenomena-fenomena yang
ada dalam kehidupan sehari-hari. Paradigma pembelajaran abad 21 yang menekankan
pada pendekatan saintifik (Scientific
approach) serta pembelajaran student
centered dimana siswa lah yang aktif dalam pembelajaran merupakan pembelajaran
ideal yang seharusnya mulai diterapkan guru dalam meningkatkan kompetensi dan
keterampilan proses sains siswa. Pembelajaran sains/IPA idealnya mencakup 3
aspek yaitu proses, produk, dan sikap. Aspek produk diwujudkan dengan hasil belajar
berupa konsep pengetahuan, proses berkaitan dengan metode ilmiah dan aspek
sikap ilmiah yang terpenting diinternalisasi dalam karakter siswa diantaranya berupa
rasa ingin tahu tinggi, jujur, objektif, teliti, tekun, berpikir secara terbuka,
berani dan santun, serta memiliki kepedulian. Pembelajaran sains/IPA lebih
menekankan pada aspek proses dan sikap melalui beberapa keterampilan proses
sains (KPS) yang merupakan ruh dari kebermaknaan belajar sains, yaitu dengan kegiatan
proses ilmiah (hands on) yang
menghasilkan berbagai keterampilan dan meningkatkan aktivitas dan kreativitas
siswa, serta yang terpenting adalah membentuk karakter sikap ilmiah siswa.
Permasalahan
yang sering muncul dalam pembelajaran IPA di SD adalah guru masih mendominasi proses
pembelajaran, sehingga siswa cenderung pasif dan bergantung pada penjelasan
guru. Kegiatan evaluasi siswa, guru lebih menekankan pada aspek kognitif dan
melupakan aspek sikap dan keterampilan yang seharusnya lebih dominan
dioptimalkan dalam pembentukan karakter dan internalisasi sikap ilmiah. Transformasi
pembelajaran diperlukan dalam rangka menghadapi perkembangan global abad 21
yang penuh dengan tantangan masa depan berupa globalisasi, masalah lingkungan
hidup, kemajuan teknologi informasi, konvergensi ilmu serta tantangan-tantangan
lain, maka perlu adanya kompetensi-kompetensi autentik seperti kemampuan dasar
dalam memecahkan masalah, kemampuan berkomunikasi, kemampuan bekerjasama,
kritis, inovatif, serta memiliki kreativitas dan kecerdasan sesuai dengan minat
dan bakatnya (BSNP, 2010).
Salah
satu model/metode pembelajaran yang direkomendasikan dalam pembelajaran sains adalah
Discovery learning, yaitu model
pembelajaran yang menitikberatkan pada kegiatan menemukan dan mencari tahu
tentang fakta dan kenyataan (Seel, 2012). Discovery learning
merupakan model pembelajaran berdasarkan pada aktivitas penemuan yang bersifat student centered dengan melibatkan
partisipasi aktif siswa. Peran guru adalah sebagai fasilitator siswa, memberikan stimulus
berupa fenomena-fenomena yang menarik minat siswa dengan kegiatan penemuan dan
pemecahan masalah selama proses pembelajaran (Nbina, 2013). Kegiatan yang bisa
dilakukan dalam pembelajaran diantaranya:
- Menumbuhkan rasa ingin tahu siswa dengan berbagai fenomena yang terjadi di sekitar siswa.
- Membiasakan siswa untuk mengamati objek, baik secara langsung maupun dengan bantuan media berupa gambar atau video.
- Melatih siswa mendeskripsikan apa yang diamati secara teliti dan objektif.
- Membiasakan siswa belajar mengkomunikasikan hasil pengamatan.
- Mengajak siswa belajar menyelesaikan suatu masalah yang berkaitan dengan lingkungan sekitar.
- Membiasakan siswa untuk mengkaitkan fakta-fakta yang ada di sekitar sehingga terbiasa membangun konsep dari pengamatan
- Melatih siswa membuat kesimpulan dari konsep yang telah ditemukan.
- Membiasakan siswa untuk terampil dalam mengajukan pertanyaan.
- Internalisasi sikap ilmiah dan nilai-nilai luhur agama dalam pembelajaran
Pembelajaran sains siswa sekolah dasar pada
hakikatnya adalah internalisasi sikap ilmiah yang diwujudkan dalam proses
pembelajaran yang dirancang agar siswa memiliki keterampilan ilmiah yang sesuai
dengan paradigma pembelajaran abad 21 yakni menghasilkan insan Indonesia yang
produktif, kreatif, inovatif, dan efektif melalui penguatan sikap (tahu
mengapa), keterampilan (tahu bagaimana), dan pengetahuan (tahu apa).
-Taqwa, Kreatif, Peduli/F.A.W.U
Referensi:
BSNP. (2010). Paradigma Pendidikan Nasional Abad XXI.
Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan.
Budiningsih, C. A. (2005). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Djamarah, S. B. (2011). Psikologi
belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Nbina, J. B. (2013). The
Relative Effectiveness of Guided Discovery and Demonstration Teaching Method on
Achievement of Chemistry Students of Different levels of Scientific Literacy. Journal
of Research in Education and Society, 1-8.
Seel, N. M. (2012). Encyclopedia of the Science of Learning.
In R. A. Lavine, Guided Discovery Learning (pp. 1402-1403). United
States: Springer US
Tidak ada komentar: